"Jika Anda ingin anak-anak Anda berkembang, biarkan mereka mendengar hal-hal baik yang Anda katakan."
- Haim Ginott -
Sore itu, saya sedang asyik ngetik naskah untuk lomba blog ketika terdengar suara ribut-ribut dari seberang jalan. Awalnya sih saya cuekin, males lah nguping pembicaraan orang. Apalagi saya lagi ngejar detlain. Kevin juga lagi asyik nonton Upin Ipin di dekat saya.
Tapi suara ribut-ribut itu makin keras, mau nggak mau saya denger juga sih kalimat-kalimat panjang dengan intonasi tinggi itu. Oh, Si Mawar kena semprot lagi. Batin saya.
“Dasar g**lok kamu, gitu aja nggak bisa. Tulis sembilan, trus abis sembilan berapa, Oon? Ayo tulis, jangan nangis. Manja banget sih, kesel deh Mama. Ayo buruan, Cece….” Mood saya langsung ilang. Kevin mendekat sambil melihat heran ke arah saya. Buru-buru saya menggendongnya masuk kamar sambil membujuknya bermain mobil-mobilan, mengabaikan obrolan yang nggak semestinya dia dengar.
Balita lucu depan rumah yang hanya berjarak nggak lebih dari 20 meter itu emang udah kenyang dengan omelan ibunya. Nggak cuma dia sih, adeknya yang masih batita pun nggak luput dari serbuan mulut jahaap perempuan yang melahirkan mereka itu. Dalam hati saya prihatin. Ya gimana enggak Moms? Peristiwa itu bukan yang pertama loh. Saya udah sering banget denger omelan si ibu yang kasar sama anak-anaknya. Kadang, anak sulungnya juga ditoyor atau dicubit. Duh, kebayang deh sakitnya.
Tapi, saya bisa apa? Kalau tiba-tiba nimbrung, salah-salah bisa jadi pertengkaran besar dengan tetangga. Ya kan? Akhirnya saya hanya bisa prihatin dan mendoakan mereka semoga sang ibu segera berubah.
Moms, kejadian seperti di atas mungkin acap kali kita temui di sekeliling. Nggak hanya tetangga, mungkin ada saudara dekat kita yang juga mengalaminya dan kita nggak bisa melakukan apa-apa. Padahal anak-anak kan nggak berdosa ya? Mereka hanya minta perhatian dan kasih sayang yang tulus.
Kasus tetangga saya itu sepertinya dipengaruhi oleh hubungan kedua ortunya. Sang ayah yang sudah lama pergi, entah untuk alasan apa, membuat sang ibu kehilangan kontrol atas dirinya. Mungkin emosi yang menumpuk, rasa lelah, stres, dan beragam rasa lainnya, membuatnya melampiaskan semua himpitan itu pada anak-anak. Sedihnya, hal itu terjadi berulang-ulang dan membuat tumbuh kembang anak-anaknya terhambat. Si sulung bahkan belum bisa bicara hingga ulang tahunnya yang keempat. Sedang yang bungsu seringkali bergumam tak jelas, sebelum kena timpuk ibunya karena dianggap cerewet dan bawel hiks…
Kekerasan pada anak makin marak akhir-akhir ini ya Moms. Nggak hanya orang luar, yang lebih menyedihkan pelakunya justru keluarga sendiri, bahkan orangtuanya. Anak memang sasaran paling empuk untuk meluapkan amarah dan beban yang menghimpit dada. Namun, sebelum menyerang mereka dengan berbagai hal negatif, sebaiknya kita sadari betapa mengerikannya efek jangka panjang yang akan mereka alami. Seperti ini misalnya
1.Gangguan kecemasan dan depresi
Anak yang sering menerima kekerasan cenderung lebih rentan terkena gangguan kecemasan dan depresi, bahkan hingga usia dewasa. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang mudah galau, dikit-dikit takut dan parno alias paranoid. Hal ini bisa jadi karena saat masa pertumbuhan dulu, mereka terlalu diintimidasi oleh rasa takut dan serangan jahat baik sikap, perlakuan ataupun lisan yang menyakitkan. Dan ini menimbulkan bekas yang mendalam dalam jiwanya.
2.Penarikan diri dari lingkungan
Kurangnya rasa percaya diri dan rasa percaya pada orang lain, membuat anak cenderung enggak nyaman berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Rasa curiga, cemburu yang berlebihan bisa menjadikan mereka gagal membangun hubungan dengan orang lain. That’s why kemungkinan mereka menarik diri (anti sosial) lebih tinggi.
Baca juga yuk : 10 Kalimat Paling Ingin Didengar Anak
3.Kilas balik trauma
Perlakuan tak menyenangkan itu akan membekas selamanya di hati dan jiwa anak. Perlu penanganan yang tepat untuk menyembuhkan luka batinnya. Jika tidak, akan menimbulkan trauma psikis.4.Sulit fokus dan sulit tidur
Efek kecemasan dan rasa takut yang berlebihan bisa mengganggu konsentrasi seseorang. Nggak menutup kemungkingkan, para korban kekerasan ini menderita insomnia atau kesulitan tidur di malam hari. Hal ini bisa berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental mereka secara keseluruhan.
5.Nggak nyaman dengan sentuhan fisik
Anak-anak korban kekerasan cenderung nggak nyaman dengan sentuhan fisik. Kenapa? Karena mereka jarang menerima kontak fisik yang menyenangkan dan menenangkan. Bagi mereka, sentuhan fisik bisa berarti ancaman serius yang membuat mereka harus mempertahankan diri baik secara fisik ataupun psikis.
6.Usaha bunuh diri
Trauma mendalam yang berkepanjangan, disertai tidak adanya pendampingan dan atau dukungan dari orang-orang terdekat, membuat para korban kekerasan ini kesepian, sulit mengontrol emosi, dan pada tahap yang serius, nggak mustahil menimbulkan keinginan melukai diri sendiri atau bahkan tindakan bunuh diri.Selain itu, mereka juga bisa mengalami gangguan makan, serangan panik, gangguan stres pasca trauma dan efek buruk lainnya. Penting bagi korban untuk mendapat pendampingan dan bantuan dari psikolog dan psikiater untuk menanggulangi efek buruk ini. Oya, satu lagi. Korban kekerasan juga berpotensi menjadi pelaku di masa depan. Ngeri ya ngebayangin mereka menjadi mata rantai kekerasan ini pada anak-anaknya atau orang lain.
Bukan bermaksud menghakimi, di sini saya hanya ingin mengingatkan lagi. Sebagai orangtua, sudahkah kita memikirkan semua efek negatif di atas saat “menyerang” anak? Relakah kita melihat anak-anak itu tumbuh menjadi monster atau justru pribadi yang memiliki citra diri negatif seperti itu?
Menjadi orangtua memang tak mudah. Tak pernah mudah. Tapi, pilihan ada di tangan kita. Dan tanggung jawabnya berat, Moms. Surga atau neraka. Yang mana pilihan kita?
Salam,
0 Komentar
Hi there!
Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!