Mimpimu, atau mimpi mereka?
Sebuah tamparan telak mendarat di pipi saya. Seketika ulu hati saya sakit. Pipi saya memanas, bukan karena udara Jogja yang memang panas pol. Tapi, pertanyaan sepele itu begitu perih dan menyakitkan.
Saya tak pernah punya impian. Lebih tepatnya saya tak pernah bisa membayangkan mau jadi apa saya kelak ketika besar nanti. Saya hanya punya gambaran abstrak dan cita-cita mulia menjadi orang baik di masa depan. Tapi, baiknya di bagian mana, melakukan kebaikan apa dan untuk siapa? I had no idea.
Yes, sepolos itu saya menjalani masa kecil hingga remaja. Sampai sudah masuk kuliahpun, saya masih nggak punya tujuan hidup yang jelas : mau jadi apa besok. Hiks.
***
Kopi hitam dalam cangkir putih di hadapan saya berhenti mengepul. Seolah lelah mencari jawab akan hilangnya kehangatan dalam setiap bulir pekatnya.
Ingatan saya melayang pada masa puluhan tahun lalu. Masa di mana saya masih unyu dan lagi galau milih keputusan hidup. Sebagai anak mami yang penurut, saya terbiasa mengiyakan hampir semua perkataan orang tua. Entah karena paham “orang tua selalu benar” yang telah mendarah daging dalam diri saya, atau memang saya yang nggak punya pengetahuan cukup untuk menentukan arah kehidupan masa depan. Saya kerap kali tak kuasa memutuskan banyak hal sendiri.
Tapi saya patut berbangga kala suatu waktu saya berhasil mengikuti kata hati dan mengesampingkan pendapat a-b-c-d dari luar saat memutuskan untuk mengambil jurusan IPS di kelas 3 SMA. Sambil menahan tangis, saya keukeuh menolak bujukan wali kelas dan guru BP untuk masuk jurusan IPA, hanya karena eman-eman bocah sepintar saya harus “tersisih” ke IPS.
Saya ingat betul, bapak berdiri di belakang saya sambil menatap ragu. Mungkin beliau berharap saya akan goyah dan akhirnya berganti pilihan. Tapi harapannya itu harus pupus ketika saya tetap teguh pada pendirian dan emoh berganti haluan ke kelas sebelah.
Tahun berganti, dan saya masih enggak paham apa yang saya mau. Menghindari matematika, fisika, kimia dan biologi, rupanya saya tetap tak mampu berpaling pada antropologi, ekonomi, ataupun tata negara. Sungguh saya tak bisa memahami diri saya sendiri.
Sejujurnya saya suka menulis sejak lama. Saya jatuh cinta pada seni sejak masih balita. Tapi saya tak pernah membuka ruang untuk sisi diri saya yang satu itu untuk berkembang dan mewujud dengan sempurna. At the end, saya yang masih galau ingin melanjutkan ke Fakultas Sastra, Psikologi, atau Komunikasi, justru berakhir dengan berlabuh di jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Sebuah pilihan yang embuh banget …
Padahal, sejatinya saya pingin jadi psikolog (tapi ditentang keras sama orang tua dengan alasan nggak mau saya ngurusi ‘orang sakit jiwa’), atau penulis, atau penyair atau penyanyi. Entahlah… di mana keberanian saya untuk speak up bersembunyi waktu itu. Dan begitulah, saya menjalani kuliah di kampus HI begitu saja. Flat, mirip sepatu hitam kesayangan yang sekarang sudah jebol itu.
Saya tak bermaksud menyalahkan siapapun, termasuk orang tua. Segala keterbatasan di masa lampau ditambah dengan akses informasi yang jauh lebih minim ketimbang saat ini, bisa saja menjadi latar belakang yang cukup beralasan. Intinya, I don't wanna blame others, or situation back then.
Saat teman-teman seangkatan heboh mencicipi dunia kerja di bidang politik ataupun jurnalisme, saya dengan anehnya malah masuk ke bidang marketing dan terjerembap di sana selama puluhan tahun.
Namun, nyatanya darah seni saya terlalu kental untuk diabaikan. Dan jadilah saya banting setir, balik kanan, dan hari ini jadi blogger plus penulis.
Itukah mimpi saya?
Saya bahkan tak mampu mengingat dengan baik apakah betul ini yang saya idamkan sejak kecil dulu. Ya saya senang menulis, saya senang membaca, pun begitu dengan menonton drama dan menyanyi. Saya hanya ingin berekspresi, menjadi diri sendiri dan menikmatinya dengan puas.
Hari ini, 22 tahun sejak ‘salah masuk jurusan’ saya menggenapi dahaga itu dengan menikmati peran sebagai blogger, penulis buku, ghostwriter, editor, sekaligus influencer. Kadang, saya membuat music cover, kadang saya berakting di depan kamera.
Menyesalkah saya karena baru bisa memuaskan diri setelah puluhan tahun berlalu?
Bohong kalau saya bilang enggak. Tapi tidak tepat juga kalau saya bilang saya hepi berakhir seperti hari ini.
Kalau ada pilihan untuk mengulang hari, saya ingin kembali ke masa 22 tahun yang lalu. Saya akan kuliah di jurusan Psikologi, mungkin nyambi dengan belajar sastra, bergaul dengan lebih banyak orang, bepergian ke lebih banyak tempat, dan mencicipi lebih banyak pengalaman yang membuat hidup saya lebih berarti.
Nyatanya, waktu tak pernah bisa diputar mundur. Saya tak mungkin bisa mengubah masa lalu. Dan yah, untuk alasan itu, saya memang sedikit menyesal.
Tapi saya tetap bersyukur untuk apa yang saya miliki saat ini. Meski semua tak seperti mimpi masa kecil, for me today is the best present.
Kalau ada hal yang saya pastikan akan berubah, adalah bagaimana saya membesarkan anak-anak. Kemarin, kini, dan nanti… saya tak akan pernah mencekoki mereka dengan pengetahuan saya, keinginan saya, mimpi saya, idaman saya. Saya tahu pasti, masa depan mereka bukan milik saya. Karenanya, tak berhak saya mengatur ini itu seperti keinginan saya.
Saya ingin, anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai kehendak bebas mereka. Apapun yang menjadi harapan dan impian mereka, biarlah itu yang mereka kerjakan. Saya hanya perlu ada di samping mereka, berjalan bersama dan menggandeng tangan mereka. Dan pasti, saya akan mengobati luka saat mereka terjatuh, atau membimbing mereka melewati jalan setapak yang gelap.
Anak-anak memang lahir dari rahim saya. Kami berbagi detak jantung dan tarikan napas yang sama selama berbulan-bulan. Kami berbagi emosi, perasaan, jiwa dan spirit yang indah, hingga sebegitu mengenalnya saya akan mereka. Namun, saya sadar mereka bukanlah saya. Mereka adalah anak-anak sang Khalik, pemilik masa depan yang sudah digariskan dengan jelas.
Anak-anak boleh saja berasal dari raga saya, tapi jiwa mereka bebas berkelana hingga ke ujung langit. Saya ingin mereka merajut mimpi, mengganggit cita dan cinta sepenuh harap. Saya ingin mereka memahami dan mengerti kata hati mereka sendiri, lalu bergerak dalam irama yang mereka hidupi dengan cinta.
Sebab mimpi mereka, bukanlah mimpi saya. Takdir mereka, bukanlah takdir saya. Saya hanyalah pengantar dan penjaga hidup mereka, hingga kelak saatnya mereka terbang tinggi dengan sayapnya. Lalu pulang kembali ke sarang saat lelah tiba atau ingin memeluk semesta.
I love them to the moon and back, that’s why I let them fly high and touch the sky.
Jogja, 27 April 2021
When the wind blows and the skies are blue. Forever I love you!
7 Komentar
Hi mbaak Betty...rasanya seperti refleksi diri ketika membaca ini, yakni dalam hal "tak punya mimpi spesifik" dan salah jurusan (meski kalau saya mungkin tak sepenuhnya salah sih hehehe). Duluuuu lagu favorit saya adl mimpi punya basejam karna ada lirik : kadang2 ingin pergi kadang ingin sendiri, sampai kini ku tak tahu pasti.
BalasHapusPass banget dengan keadaan saat itu. Sekaranh mungkin jg masih seperti itu, cuma sudah bisa lebih legowo ^_^
Salam kenal dr saya, orang Temanggung yg sedang tinggal di Gowa
Hi mbaak Betty...rasanya seperti refleksi diri ketika membaca ini, yakni dalam hal "tak punya mimpi spesifik" dan salah jurusan (meski kalau saya mungkin tak sepenuhnya salah sih hehehe). Duluuuu lagu favorit saya adl mimpi punya basejam karna ada lirik : kadang2 ingin pergi kadang ingin sendiri, sampai kini ku tak tahu pasti.
BalasHapusPass banget dengan keadaan saat itu. Sekaranh mungkin jg masih seperti itu, cuma sudah bisa lebih legowo ^_^
Salam kenal dr saya, orang Temanggung yg sedang tinggal di Gowa
Hai kak, salam kenal ya. Perkenalkan nama saya Izzuddin, saya anak baru di 1M1C 😊
BalasHapusSaya juga pernah berada di posisi ini dan sama-sama salah jurusan juga. Saya masuk jurusan teknik kimia, padahal saya pengennya kuliah di HI wkwk
Padahal akreditasi jurusannya udah A, tapi ya karena gak passion, saya jadi lebih banyak mencari pelampiasan dan cenderung meninggalkan kuliah. Eh, ini jangan dicontoh ya :)
Pada akhirnya saya "melawan" dengan cara-cara yang masih dalam batas wajar. Akhirnya, setelah lulus kuliah dari teknik kimia, saya dibebaskan untuk memilih masa depan saya sendiri, orang tua hanya support semua pilihan saya.
Tetap semangat ya kak, kamu seberharga itu, jangan patah semangat 🚀
Angkatan kita sepertinya banyak salah jurusan ya..(eh maksudnya saya kemudian Mbak Betu hihihi), karena waktu itu orang tua dan guru lebih dituruti dan anak-anak cenderung nurut. Beruntung Mbak Bety masih keukeuh pilih IPS, aku "terpaksa" ke IPA ..jadi ya gitu deh, kuliah masuk ke IPS juga.
BalasHapusDan ini jadi pelajaran buat kita, agar anak-anak nantinya bisa memilih jurusan sesuai potensi dan bakatnya dan kita orang tua hanya mengantarkan mereka saja
BalasHapusSama mbak, ketika saya mau ambil 2 jurusan dengan fakultas berbeda, saya juga tidak mendapatkan persetujuan. Malah diharuskan mengambil jurusan yang saya gak suka, namun ketika di jurusan tersebut saya mendapatkan kesempatan bagus kembali tidak mendapatkan persetujuan hehee..
Serba salah menjadi posisi anak perempuan yang gak bisa mengikuti kata hati. Sekarang prinsip saya, asal anak-anak bahagia apapun yang mereka pilih asal bisa memberikan argumentasi yang jelas dan bersedia tekun di bidang itu maka akan saya restui.
Baca ini saya jadi membayangkan masa remaja simbok yang kekeh dengan pendiriannya, tapi dengan wajah manis semanis senyum simbok sekarang. Gombalin simbok boleh dong.
BalasHapusSehat-sehat sekeluarga ya sayang.
Aku dulu pengen masuk seni rupa. Diketawain temen, pinter² kok masuk SR. Iya sih, juara kelas...uhuuuk. Trus msk AR deh. Dpt suami SR, anak-mantu SR...klop...haha...
BalasHapusBtw...tau ga cita² waktu SMA? Pengen sekolah jahit di fashion designer. Zaman dulu namanya Susan Budiharjo. Ga boleh ama Mama, kudu kuliah...
Ya gitu deh...nurut aja ke ortu.
Hi there!
Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!